Skip to main content

ANALISIS KRITIS TENTANG PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA DALAM KONDISI ERA PANDEMI SAAT INI

PENGANTAR ILMU POLITIK

NAMA: RIZQA AMARTIA

NIM: H1A120069

Dalam era pandemi ini banyak sekali muncul permasalahan-permasalahan yang terjadi di kalangan masyarakat maupun pemerintah, yaitu permasalahan sosial.

Sejak awal munculnya covid-19 kegiatan yang bersifat sosial dibatasi, seperti kontak antarorang lain, dimana masyarakat pun di minta untuk tidak melakukan kegiatan yang besifat berkumpul atau berkerumunan demi menghindari terjadinya penularan lebih lanjut. Namun, dalam kondisi ini pula terdapat satu permasalahan yang muncul dan di bicarakan oleh banyak orang, yaitu isu dilangsungkannya pemilu dengan kondisi yang dilanda pandemi seperti ini. Maka dengan ini saya akan menganalisis tentang beberapa hal mengenai “Pemilu dalam kondisi pandemi.”

Tak dapat dipungkiri bahwa pemilu memang salah satu agenda besar dalam negara Indonesia yaitu melangsungkan pemilihan umum guna mencari pemimpin yang layak menggantikan tugas pemimpin sebelumnya dalam melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin, diharapkan pula dapat menyelenggarakan serta mengembankan tugasnya dengan baik.

Namun pada kondisi ini negara sangat tidak memungkinkan untuk melakukan pemilihan untuk secara tatap muka yang dimana hal ini dinilai efektif guna mencegah terjadi nya kecurangan.

Sampai saat ini pun ada beberapa jumlah tantangan membayangi pelaksanaan pilkada di masa pandemi ini, dimana pemerintah tengah menyiapkan tatanan normal baru atau New Normal, begitupula ancaman penularan virus Covid-19 masih terus membayangi.

Dari segala informasi yang didapatkan, bahwa pemilu tetap dilaksanakan. DPR dan Pemerintah bersepakat untuk tetap menggelar pemilihan kepala daerah serentak pada 9 Desember 2020 di 270 daerah se-Indonesia. Keputusan ini juga mendasari pada Perppu No 2 Tahun 2020 tentang Pilkada yang telah diteken oleh Presiden Jokowi. Kesepakatan itu diambil setelah pemerintah dan DPR menilai bahwa situasi di tengah pandemi virus corona (Covid-19) masih terkendali saat ini.

Dari segi konsep pemilu itu sendiri mengandung asas-asas pemilu yaitu:

1. Langsung

Pemilih berhak memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan hati nuraninya tanpa perantara, memilih secara langsung wakil-wakil mereka untuk duduk di parlemen. Langsung berarti rakyat pemilih mempunyai hak untuk secara langsung memberikan suaranya sesuai dengan kehendak hati nuraninya, anpa perantara. Hak ini tidak diwakilkan kepada seseorang atau sekelompok orang.

2. Umum 

Pemilihan yang bersifat umum mengandung nakna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga yang telah telah memenuhu persyaratan tertentu tanpa diskriminasi (pengecualian) berdasar acuan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, dan status sosial.

3. Bebas 

Bebas berarti setiap Negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapa pun. Didalam melaksankan haknya, setiap warga Negara dijamin keamanannya. Didalam demokrasi, kebebasan merupakan prinsip yang sangat penting dan utama.Dengan pemilu, kekuasaan dapat diganti secara regular dan tertib. Dengan demikian, semua warga Negara diberi kebebasan untuk memilih dan dipilih tanpa interverensi dan tanpa tekanan dari siapapun.

4. Rahasia

Rahasia berarti dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak mana pun dan dengan jalan apa pun. Kerahasiaan ini merupakan trantai dari “makna” kebebasan sebagaimana yang disebutkan sebelumnya.

5. Jujur

Jujur berarti dalam menyelenggarakan pemilihan umum, peneyelenggaraan/pelaksanaan, pemerintah dan partai politik peserta pemilu, pengawas dan pemantau pemilu, termasuk pemilih, serta semua pihak yang terlibat secara tidak langsung, harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

6. Adil 

Adil berarti dalam menyelenggarakan pemilu, setiap pemilih dan partai politik peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak mana pun.

Sejak tercetusnya asas ini menjadi pegangan masyarakat dan pemerintah dalam menyelenggaraan pemilu, namun perlu ditelaah pula dengan melihat situasi negara saat ini yang tidak memungkinkan untuk melaksanakan pemilu.

Banyak masyarakat mengakui bahwa penyelenggaraan Pilkada Serentak  tahun ini akan berpotensi memunculkan gelombang baru terkait penyebaran Covid-19. Bahkan berpotensi menggerus kualitas pesta demokrasi karena dalam memutuskan penyelenggaraan Pilkada Serentak ini bukan hanya dengan sepenggal kalimat pemikiran 'yang penting pilkada jalan'.

Namun berikut akan dijabarkan mengenai perlaksanaan pemilu pada kondisi pandemi saat ini:

Peraturan KPU terkait protokol pelaksanaan pilkada di situasi pandemi memiliki relevansi dan signifikansi yang kuat. Demikian pula tantangan berat penyelenggaraan pilkada di momen pandemi ini tidaklah ringan. Dibutuhkan kedisiplinan, kolaborasi, dan komitmen semua pihak agar dari sisi teknis penyelenggaraan pilkada berhasil. Selain itu, pilkada di tengah pandemi harus dipastikan tidak menjadi klaster baru penularan virus Covid-19 baik bagi pemilih maupun bagi penyelenggara khususnya petugas pilkada di lapangan.

Penyelenggaraan pilkada di masa pandemi Covid-19 ini memiliki tantangan, baik dari sisi teknis maupun kualitas penyelenggaraan. Jika tak diantisipasi dengan baik, pilkada yang digelar di masa pandemi ini alih-alih melaksanakan demokrasi di tingkat lokal dengan baik, pilkada justru melahirkan masalah baru baik dari sisi teknis maupun nonteknis.

Tantangan teknis penyelenggaraan pilkada di masa pandemi yang berkorelasi erat dengan pendanaan pilkada. Penerapan protokol kesehatan dalam penyelenggaraan pilkada secara pasti akan meningkatkan biaya penyelenggaraan pilkada.

Sebagai contoh, kebijakan pengurangan kapasitas pemilih di setiap tempat pemungutan Suara (TPS) yang semula 800 menjadi 500 pemilih dengan mempertimbangkan protokol kesehatan physical distancing akan memberi konsekuensi penambahan TPS dan petugas di lapangan. Kondisi inilah yang dapat menaikkan biaya pelaksanaan pilkada oleh penyelenggara.

Tantangan kualitas pelaksanaan pilkada di era pandemic ini indikator kualitas baik tidaknya pelaksanaan pilkada tentu yang utama tak lain pelaksanaan pilkada, dimana dilakukan secara demokratis yang di dalamnya terdapat sejumlah indikator penting yang tak bisa ditawar-tawar. Di antaranya mengenai partisipasi masyarakat dalam pilkada tahun ini yang merupakan tantangan serius bagi penyelenggara pemilu ditengah pandemi ini.

Penyelenggara pilkada harus memastikan keamanan dan keselamatan pemilih atas ancaman penularan Covid-19 pada saat melakukan pencoblosan menjadi salah satu langkah untuk meningkatkan partisipasi pemilih di tengah pandemi. Di samping itu, sosialisasi pelaksanaan pilkada semestinya lebih dimaksimalkan. Opsi mengurangi sosialisasi penyelenggaraan pilkada karena alasan pandemi merupakan opsi yang kontraproduktif mengingat ancaman rendahnya partisipasi masyarakat membayangi pilkada di musim pandemi ini. Penyelenggara dituntut untuk melakukan terobosan dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pilkada.

Masalah lainnya yakni peluang praktik politik uang (money politic) di tengah pandemi. Kondisi perekonomian masyarakat yang terdampak serius akibat pandemi Covid-19 ini dapat menjadi alasan bagi para kandidat untuk membagi-bagi uang, sembako dan sejenisnya atas nama bantuan sosial bagi masyarakat terdampak. Oleh karennaya, di tengah kondisi pandemi ini, ruang praktik politik uang seolah menemukan momentumnya

Di samping itu, politisasi program jaring pengaman sosial (social safe net) yang digulirkan pemerintah dalam rangka bantuan atas dampak pandemi Covid-19 kepada masyarakat, juga rawan menjadi ruang politisasi bagi kandidat petahanan (incumbent). Merujuk penjelasan Kementerian Dalam Negeri, kandidat petahanan yang berpotensi maju kembali dalam pilkada mendatang sebanyak 202 kandidat. Kualitas Pilkada Pilkada di tengah pandemi ini pada akhirnya akan membuka praktik klientelisme politik, yakni sikap permisif yang dilakukan oleh para aktor dalam pilkada yang di dalamnya di antaranya pemilih dan pegiat kampanye memberikan dukungan kepada kandidat namun dengan imbalan bantuan dan pemanfaatan material lainnya.

Di sisi yang lain, kandidat menggunakan metode klientelistik untuk memenangkan pemilihan dengan membagi bantuan, uang kepada calon pemilih dengan hadapan agar dipilih. Padahal, pilkada semestinya menjadi ruang daulat rakyat untuk mengekspresikan pendapat politiknya tanpa dihantui oleh apapun. Tak terkecuali oleh politik uang dan imbalan material lainnya. Pilkada di momen pandemi perlu ditekankan pada dua hal sekaligus.

Pertama, memastikan teknis penyelenggaraan pilkada harus berjalan dengan baik. Persoalan teknis yang memengaruhi kualitas pilkada harus diantisipasi agar tidak terjadi dalam hajatan demokrasi lokal ini. Persoalan partisipasi pemilih, keselamatan pemilih dan penyelenggara, sosialisasi penyelenggaraan pilkada dan visi misi kandidat harus dipastikan tidak ada persoalan pada saat penyelenggaraan pilkada.

Kedua, memastikan output penyelenggaraan pilkada menghasilkan kepala daerah yang bersih baik dalam cara memenangkan pilkada maupun program kerja yang ditujukan untuk kepentingan publik daerah. Pilkada harus menghasilkan pemimpin daerah yang mampu menyejahterakan masyarakat di daerah. Lebih dari itu, kepala daerah hasil pilihan rakyat daerah tidak terperangkap dalam korupsi politik yang sebelumnya telah banyak menjerat kepala daerah. Dalam hal ini, peraturan KPU terkait protokol pelaksanaan pilkada di situasi pandemi memiliki relevansi dan signifikansi yang kuat.

Kendati demikian, tantangan berat penyelenggaraan pilkada di momen pandemi ini tidaklah ringan. Dibutuhkan kedisiplinan, kolaborasi, dan komitmen semua pihak agar dari sisi teknis penyelenggaraan pilkada berhasil. Selain itu, pilkada di tengah pandemi harus dipastikan tidak menjadi klaster baru penularan virus Covid-19 baik bagi pemilih maupun bagi penyelenggara khususnya petugas pilkada di lapangan.

Tantangan Penyelenggaraan pilkada di masa pandemi Covid-19 ini memiliki tantangan baik dari sisi teknis maupun kualitas penyelenggaraan. Jika tak diantisipasi dengan baik, pilkada yang digelar di masa pandemi ini alih-alih melaksanakan demokrasi di tingkat lokal dengan baik, pilkada justru melahirkan masalah baru baik dari sisi teknis maupun nonteknis.

Dari hal-hal yang dijabarkan diatas, berikut gambaran bagaimana para kandidat tengah melancarkan aksinya di era pandemi saat ini:

Seiring masa kampanye Pemilihan Kepala Daerah yang dimulai pada Sabtu, 25 September 2020 lalu, para pasangan calon mencari cara untuk mengumpulkan dukungan masyarakat dalam situasi pandemi covid-19. Dalam beberapa jurnal dan informasi yang saya baca, diketahui bahwa Komisi Pemilihan Umum telah menerbitkan revisi aturan yang melarang kampanye dengan cara menciptakan kerumunan masa seperti rapat umum dan konser musik, serta membatasi pertemuan tatap muka.

Dalam hal ini sebagian besar kampanye diperkirakan akan dilangsungkan di dunia maya, pihak pemantau pemilu juga memperingatkan akan bahaya konten disinformasi dan berita bohong. Namun, tidak semua kandidat dalam Pilkada serta-merta mengalihkan kampanye mereka ke media sosial.  Tahapan Pilkada tetap dilaksanakan padahal sudah banyak dikritik oleh banyak pihak.

Salah satu pasangan calon mengklaim pendekatan untuk kampanye dari rumah ke rumah manjur serta ada yang mengatakan pihaknya tetap berencana menggelar pertemuan fisik, di samping kampanye virtual tentunya dengan mengedepankan protokol kesehatan Covid-19 serta tidak melanggar aturan yang ditetapkan KPU. Padahal di era pandemi ini, kontak antarsosial pun dibatasi, apalagi pendekatan dari rumah ke rumah. Karena tidak akan tahu bagaimana virus corona ini ada pada seseorang, kecuali jika pasangan calon masing-masing sudah melakukan test swab, namun ditekankan lagi, tidak semua masyarakat di test swab sehingga tidak tahu dari siapa akan menularkan virus tersebut.

Hal ini ditegaskan oleh KPU pada hari Rabu, 23 September, KPU dalam menetapkan Peraturan Peraturan Komisi Pemilihan Umum no. 13 tahun 2020 yang merevisi peraturan sebelumnya. Pasal 58 dalam peraturan baru menyatakan para kandidat dalam Pilkada serentak 2020 harus mengutamakan kegiatan kampanye di media sosial dan media daring. Jika kampanye tidak dapat dilakukan melalui media sosial dan media daring, maka dibolehkan pertemuan tatap muka dengan jumlah peserta yang hadir paling banyak 50 orang serta menerapkan protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran Covid-19.

Pada pasal 88C, KPU dengan tegas melarang tim kampanye melaksanakan kegiatan yang biasanya mengumpulkan massa dalam jumlah besar seperti rapat umum, kegiatan kebudayaan seperti pentas seni atau konser musik, kegiatan olahraga, perlombaan, kegiatan sosial, atau peringatan hari ulang tahun partai politik.

Kandidat yang melanggar akan mendapat sanksi berupa peringatan tertulis, penghentian dan pembubaran kampanye, serta larangan melakukan metode kampanye yang dilanggar selama tiga hari.

Seiring dengan merebaknya segala hal yang terjadi akibat pandemi COVID-19 ini, KPU akhirnya mengeluarkan surat keputusan KPU Nomor: 179/PL.02-kpt/01/KPU/III/2020 yang antara lain mengatur penundaan beberapa tahapan Pilkada 2020, di antaranya pelantikan dan masa kerja Panitia Pemungutan Suara (PPS), verifikasi syarat dukungan calon perseorangan, pembentukan Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) dan pelaksanaan  pencocokan dan penelitian (coklit), serta pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih.

Penundaan beberapa tahapan pilkada di atas dapat menimbulkan berbagai dampak dalam penyelenggaraannya, baik yang sifatnya positif maupun negatif. Dampak positif misalnya, penundaan ini memberikan ruang bagi calon independen untuk menyiapkan persyaratan dukungan sebagai calon perseorangan. Partai politik juga bisa relatif mengalami relaksasi dalam melakukan proses rekrutmen calon kepala daerah.

Perubahan jadwal dianggap dipaksakan juga mengingat kenaikan jumlah kasus positif COVID-19 belum melandai dan usai. Apalagi hingga hari ini belum ada kepastian kapan pandemi ini akan berakhir. Seperti ada kesan paksaan atas keluarnya Perppu Nomor 2 Tahun 2020.

Meskipun pada Perppu tersebut terdapat pasal yang mengatur bahwa Pilkada 2020 dapat ditunda apabila situasi tidak memungkinkan, pasal ini justru dianggap masyarakat sebagai sesuatu yang tidak pasti.

Namun desakan menunda pilkada terus digaungkan demi aspek keselamatan kesehatan masyarakat, ketahanan ekonomi, dan kualitas demokrasi. Harapannya pihak pemilu lebih tegas lagi dalam menyelenggarakan pemilu ini, serta diteliti dan ditelaah terlebih dahulu mengingat kondisi yang seperti ini, karena memang rencana menggelar kampanye secara daring akan kurang efektif, khususnya di beberapa wilayah yang tidak memiliki akses jaringan internet memadai. Lepas dari itu, partisipasi pemilih di Pilkada Serentak 2020 berpotensi menurun, malah bisa saja berpotensi membuat berbagai jenis kecurangan terjadi.

Pengamat politik Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam mengatakan langkah ideal yang harus dilakukan pemerintah adalah menunda penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 demi aspek keselamatan kesehatan masyarakat, ketahanan ekonomi, dan kualitas demokrasi.

Berikut beberapa alasan mengapa pemilu harus ditunda:

Menunda penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 terbaik adalah saat ini. Karena penundaan tidak boleh dilakukan setelah angka penyebaran kasus Covid-19 semakin meningkat di satu atau dua bulan mendatang.

Pertama, pemerintah berharap penyelenggaraan pesta demokrasi tahun ini bisa memperbaiki kondisi perekonomian nasional yang sedang buruk akibat terdampak Covid-19, karena hal-hal tersebut akan berimplikasi positif terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi suatu negara karena berkaitan dengan perputaran uang. Namun belum tentu, karena  pemilu Serentak 2020 akan diselenggarakan dengan protokol Covid-19 yang sangat ketat dan banyak dalam bentuk daring demi menghindari kerumunan masyarakat.

Faktor kedua, partai penguasa dalam hal ini PDI Perjuangan ingin mempertahankan kekuasaan di daerah.

Di saat yang sama, Khoirul menambahkan partai politik selain PDIP juga berusaha agar Pilkada Serentak 2020 tidak diundaur kembali. Dia berpendapat, pengunduran kembali penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 hanya hanya akan menguntungkan calon petahanan sebagai pemegang kendali atas alokasi anggaran daerah dan struktur pemerintahan daerah.

Selain karena situasi pandemi Covid-19, tingkat partisipasi ini mengalami penurunan dibandingkan 2017 ( 74,2%). Situasi normal saja target tidak tercapai dan bahkan turun, lantas bagaimana dengan situasi sekarang 

Pandemi Covid-19 bukan hanya persoalan kesehatan, namun punya efek terhadap masalah sosial, ekonomi, dan bahkan politik elektoral. Secara psikologis, bagi sekitar 106 juta pemilih di 270 daerah yang hendak menggelar pemilu, di tengah suasana pandemi seperti sekarang ini, maka datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk memberikan hak pilih bukanlah hal prioritas.

Setiap warga kini sedang berjuang keras untuk tetap bisa survive. Alih-alih memikirkan pilkada, yang mereka pikirkan adalah bagaimana bisa mengisi perut yang telah dikencangkan ikat pinggangnya selama enam bulan terakhir.

Selain itu, secara teknis, menyesuaikan penyelenggaraan pilkada dengan protokol kesehatan di tengah pandemi bukan perkara mudah. Bayangkan, pemungutan suara dinilai sukses antara lain ditandai besarnya kerumunan masyarakat di TPS. Tentu lantaran kondisi pandemi, kerumunan justru dilarang sehingga penyelenggara pilkada harus mendesain ulang teknis pelaksanaannya.

Selain akan rumit lantaran kita belum punya pengalaman menyelenggarakan pilkada di tengah pandemi, pelaksanaan pilkada dengan protokol kesehatan juga membutuhkan budget tidak sedikit. Apalagi salah satu cara untuk mengurangi kerumunan, jumlah TPS harus diperbanyak. Artinya, logistik dan petugas pun harus lebih banyak ketimbang pilkada biasanya.

Ini belum teknis di lapangan bagaimana pemilih yang ketika waktu pencoblosan tiba sedangkan ia menjadi pasien positif Covid-19. Apakah yang bersangkutan dibolehkan datang ke TPS dan diberikan tempat khusus yang terpisah dari yang lain, atau didatangi ke rumahnya ketika mereka masih dalam isolasi mandiri. Sebab, jika tidak ada aturan yang jelas dan pasti, mereka yang terpapar Covid-19 berpotensi kehilangan hak pilihnya.

Menyelenggarakan pemilu ditengah pandemi yang berhasil, seperti Korea.

Dalam hal ini, jika memang adanya tuntutan agar pemilu diselenggarakan, maka Indonesia perlu belajar dari kesuksesan Korea Selatan dalam menyelenggarakan pemilu di tengah pandemi. Memang harus diakui, Indonesia bukan satu-satunya negara yang akan menggelar pemilu di tengah pandemi Covid-19, ada 54 negara dan teritori telah memutuskan untuk menyelenggarakan pemilu nasional atau sub nasional, dan setidaknya ada 18 negara dan teritori yang telah menyelenggarakan pemilu. Dari jumlah itu, setidaknya 12 telah menyelenggarakan pemilu atau referendum nasional. Namun catatannya, mayoritas dari 12 negara yang menggelar pemilu di masa pandemi Covid-19 mengalami problem serius soal partisipasi pemilih. Semuanya menurun. Hanya tiga negara yang mengalami kenaikan partisipasi, yakni Korea Selatan (dari 58,03 % naik jadi 66,21%), Polandia (dari 55,34% jadi 68,18%), dan Singapura (dari 93,70% jadi 95,81%).

Sebab, selain berhasil mencetak partisipasi pemilu terbaik sejak 1992, seperti dikatakan Duta Besar Korea Selatan untuk Indonesia, Negeri Ginseng tersebut menjadi satu-satunya negara di dunia yang telah berhasil menyelenggarakan pemilu tanpa satu orang pun terpapar Covid-19. Padahal saat itu sudah ada 10.000 lebih warganya positif Covid-19.

Salah satu rahasia kesuksesan Korea Selatan dalam penyelengaraan pemilu legislatif pada 15 April 2020 lalu itu adalah soal kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara. Artinya, negara melalui penyelengara pemilu mampu memastikan dan meyakinkan kepada publik ketika memberikan hak pilihnya di TPS aman dari penularan Covid-19. Ini penting karena tanpa ada kepastian soal itu, publik cenderung memilih di rumah saja ketimbang datang ke TPS.

Karena itu, penyelenggara pilkada perlu penyusun langkah-langkah taktis-strategis supaya gelaran Pilkada 2020 dapat berjalan dengan baik dan target partisipasi dapat tercapaiatau minimal tidak menurun dari capaian sebelumnya. Salah satu caranya ialah dengan menggalakkan sosialisasi. Sosialisasi di sini dapat dibagi dua, yakni sosialisasi terkait pentingnya partisipasi dan sosialisasi terkait kesiapan penyelenggara guna meyakinkan publik.

Sosialisasi terkait pentingnya partisipasi ini penting karena selama ini porsi penyelenggara pilkada lebih getol sosialisasi terkait hal teknis ketimbang sosialisasi terkait pentingnya partisipasi. Harusnya, porsi sosialisasi ihwal pentingnya berpartisipasi dalam hajatan demokrasi lebih gencar dilakukan dan diperbesar frekuensinya.

Sedangkan terkait sosialisasi kesiapan penyelenggara, perlu disampaikan kepada publik bahwa pilkada di tengah pandemi dapat dipastikan aman dari penyebaran Covid-19. Segala bentuk protokol kesehatan pun sudah disiapkan dengan matang. Di sisi lain, pemerintah melalui Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 harus bekerja ekstra menekan laju dan mata rantai penyebaran Covid-19. Menurunnya laju penyebaran Covid-19 dapat memupuk kepercayaan masyarakat ketika hendak mencoblos di TPS nanti.

Sebab itu, gotong royong dan kesadaran bersama dalam melakukan sosialisasi sangat diperlukan di sini. Termasuk juga peran media dalam ikut serta membantu mengkampanyekan ihwal pentingnya partisipasi dalam hajatan elektoral.

Secara esensial, partisipasi dalam pesta demokrasi harus ditempatkan pada posisi yang krusial. Partisipasi bentuk lain dari kedaulatan rakyat. Partisipasi merupakan bentuk perwujudan negara demokrasi. Dimensi penting dari esensi demokrasi ialah partisipasi. Partisipasi mengejawantahkan adagium klasik vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan).

Melalui partisipasi, publik punya mandat dan legitimasi yang kuat dalam pemerintahan demokrasi. Semakin tinggi partisipasi, maka kian kuat mandat dan legitimasi publik. Sebaliknya, bila partisipasi rendah berimplikasi pada lemahnya mandat dan legitimasi publik.

Karena itulah, partisipasi dalam hajatan elektoral bukan saja menjadi afirmasi penting bagi sukses tidaknya kinerja para penyelenggara, melainkan juga sebagai penanda dari manifestasi aktualisasi kedaulatan rakyat.

Comments

Popular posts from this blog

KONSEP TRIAS POLITIKA

Konsep Trias Politica , berasal dari bahasa Yunani yang artinya Politik Tiga Serangkai. Menurut Montesquieu, ajaran Trias Politica dikatakan bahwa dalam tiap pemerintahan negara harus ada 3 (tiga) jenis kekuasaan yang tidak dapat dipegang oleh satu tangan saja, melainkan harus masing- masing kekuasaan itu terpisah. Pada pokoknya ajaran Trias Politica isinya tiap pemerintahan negara harus ada 3 (tiga) jenis kekuasaan yaitu Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif, sebagai berikut: a) Kekuasaan Legislatif (Legislative Power) Kekuasaan Legislatif (Legislative Power) adalah kekuasaan membuat undang-undang. Kekuasaan untuk membuat undang-undang harus terletah dalam suatu badan khusus untuk itu. Jika penyusunan undang-undang tidak diletakkan pada suatu badan tertentu , maka akan mungkin tiap golongan atau tiap orang mengadakan undang-undang untuk kepentingannya sendiri. Suatu  negara yang menamakan diri sebagai negara demokrasi yang peraturan perundangan harus berdasarkan kedaulatan rakyat, m...

Analisis APBD Kota Jambi TA 2019-2020

  UJIAN TENGAH SEMESTER PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS JAMBI TAHUN 2021 Nama : Rizqa Amartia NIM : H1A120069 Dosen Pengampu : Alva Beriansyah, S.IP., M.IP. ANALISIS ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH KOTA JAMBI TA 2019 Dalam ringkasan yang terdapat pada tabel di atas (2019) , Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Jambi pada tahun 2019 adalah sebesar Rp 1,660 T, dan angka tersebut meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya Rp 1,627 T.  Pendapatan nya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kota Jambi tersebut bersumber dari pendapatan asli daerah (PAD) Rp 364,14 M, dana perimbangan Rp 1,134 T. Dimana dana perimbangan menurun dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp 1,143 T atau menurun 0,77 persen. Kemudian pendapatan lain-lain yang sah Rp 5,67 M. Sementara untuk belanja daerah pada Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2019 direncanakan sebesar Rp 1,710 T.  Dari dua poin tadi, antara belanja dan pendapatan daerah sayangnya ter...

ILMU POLITIK

 WHAT’S IN YOUR MIND WHEN YOU HEAR ABOUT ‘POLITIC’ ? Assalamu’alaikum wr. wb Apa yang ada dibenak anda ketika mendengar ‘politik?‘ Saya Rizqa Amartia, Prodi Ilmu pemerintahan ingin menjawab soal mata kuliah Ilmu politik yang telah diberikan oleh dosen. Baik, disini saya akan menjelaskan dengan pendapat saya sendiri mengenai politik dan apa yang ada di benak saya ketika mendengar kata ‘politik’ Politik adalah perebutan kekuasaan, pembagian kekuasaan, wewenang, atau kedudukan seseorang yang biasanya lebih tinggi. Politik biasanya meraih kekuasaan untuk mencapai tujuan tertentu atau proses untuk pembuatan keputusan  dalam negara. Contoh: Pemilihan presiden dan wakil presiden. Politik itu keras. Itu yang kedua ada di benak saya, mengapa demikian? Karena di dalam politik sering kali saya baca dan saya dengar di berbagai sumber berita bahwa ada partai yang saling menyerang dan frontal seolah lawannya harus di lengserkan dan dibinasakan. Istilah seperti itulah yang saya bilang keras....