PENGANTAR ILMU POLITIK
NAMA: RIZQA AMARTIA
NIM: H1A120069
Dalam era pandemi ini banyak sekali muncul
permasalahan-permasalahan yang terjadi di kalangan masyarakat maupun pemerintah,
yaitu permasalahan sosial.
Sejak awal munculnya covid-19 kegiatan yang bersifat sosial dibatasi, seperti kontak antarorang lain, dimana masyarakat pun di minta untuk tidak melakukan kegiatan yang besifat berkumpul atau berkerumunan demi menghindari terjadinya penularan lebih lanjut. Namun, dalam kondisi ini pula terdapat satu permasalahan yang muncul dan di bicarakan oleh banyak orang, yaitu isu dilangsungkannya pemilu dengan kondisi yang dilanda pandemi seperti ini. Maka dengan ini saya akan menganalisis tentang beberapa hal mengenai “Pemilu dalam kondisi pandemi.”
Tak dapat dipungkiri bahwa pemilu
memang salah satu agenda besar dalam negara Indonesia yaitu melangsungkan
pemilihan umum guna mencari pemimpin yang layak menggantikan tugas pemimpin sebelumnya
dalam melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin, diharapkan pula dapat menyelenggarakan
serta mengembankan tugasnya dengan baik.
Namun pada kondisi ini negara sangat
tidak memungkinkan untuk melakukan pemilihan untuk secara tatap muka yang
dimana hal ini dinilai efektif guna mencegah terjadi nya kecurangan.
Sampai saat ini pun
ada beberapa jumlah tantangan membayangi pelaksanaan pilkada di masa pandemi
ini, dimana pemerintah tengah menyiapkan tatanan normal baru atau New Normal,
begitupula ancaman penularan virus Covid-19 masih terus membayangi.
Dari segala informasi
yang didapatkan, bahwa pemilu tetap dilaksanakan. DPR dan Pemerintah bersepakat untuk tetap menggelar pemilihan
kepala daerah serentak pada 9 Desember 2020 di 270 daerah se-Indonesia.
Keputusan ini juga mendasari pada Perppu No 2 Tahun 2020 tentang Pilkada yang
telah diteken oleh Presiden Jokowi. Kesepakatan itu diambil setelah pemerintah
dan DPR menilai bahwa situasi di tengah pandemi virus corona (Covid-19) masih
terkendali saat ini.
Dari segi konsep
pemilu itu sendiri mengandung asas-asas pemilu yaitu:
1. Langsung
Pemilih berhak memberikan suaranya secara langsung
sesuai dengan hati nuraninya tanpa perantara, memilih secara langsung
wakil-wakil mereka untuk duduk di parlemen. Langsung berarti rakyat pemilih
mempunyai hak untuk secara langsung memberikan suaranya sesuai dengan kehendak
hati nuraninya, anpa perantara. Hak ini tidak diwakilkan kepada seseorang atau
sekelompok orang.
2. Umum
Pemilihan yang bersifat umum mengandung nakna menjamin
kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga yang telah telah memenuhu
persyaratan tertentu tanpa diskriminasi (pengecualian) berdasar acuan suku,
agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, dan status sosial.
3. Bebas
Bebas berarti setiap Negara yang berhak memilih bebas
menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapa pun. Didalam
melaksankan haknya, setiap warga Negara dijamin keamanannya. Didalam demokrasi,
kebebasan merupakan prinsip yang sangat penting dan utama.Dengan pemilu,
kekuasaan dapat diganti secara regular dan tertib. Dengan demikian, semua warga
Negara diberi kebebasan untuk memilih dan dipilih tanpa interverensi dan tanpa
tekanan dari siapapun.
4. Rahasia
Rahasia berarti dalam memberikan suaranya, pemilih
dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak mana pun dan dengan
jalan apa pun. Kerahasiaan ini merupakan trantai dari “makna” kebebasan
sebagaimana yang disebutkan sebelumnya.
5. Jujur
Jujur berarti dalam menyelenggarakan pemilihan umum,
peneyelenggaraan/pelaksanaan, pemerintah dan partai politik peserta pemilu,
pengawas dan pemantau pemilu, termasuk pemilih, serta semua pihak yang terlibat
secara tidak langsung, harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku.
6. Adil
Adil berarti dalam menyelenggarakan pemilu, setiap
pemilih dan partai politik peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta
bebas dari kecurangan pihak mana pun.
Sejak tercetusnya asas ini menjadi pegangan masyarakat
dan pemerintah dalam menyelenggaraan pemilu, namun perlu ditelaah pula dengan
melihat situasi negara saat ini yang tidak memungkinkan untuk melaksanakan
pemilu.
Banyak masyarakat mengakui bahwa
penyelenggaraan Pilkada Serentak tahun
ini akan berpotensi memunculkan gelombang baru terkait penyebaran Covid-19. Bahkan berpotensi menggerus
kualitas pesta demokrasi karena dalam memutuskan penyelenggaraan Pilkada
Serentak ini bukan hanya dengan sepenggal kalimat pemikiran 'yang penting
pilkada jalan'.
Namun berikut akan
dijabarkan mengenai perlaksanaan pemilu pada kondisi pandemi saat ini:
Peraturan KPU terkait
protokol pelaksanaan pilkada di situasi pandemi memiliki relevansi dan
signifikansi yang kuat. Demikian pula tantangan berat penyelenggaraan pilkada
di momen pandemi ini tidaklah ringan. Dibutuhkan kedisiplinan, kolaborasi, dan
komitmen semua pihak agar dari sisi teknis penyelenggaraan pilkada berhasil.
Selain itu, pilkada di tengah pandemi harus dipastikan tidak menjadi klaster
baru penularan virus Covid-19 baik bagi pemilih maupun bagi penyelenggara
khususnya petugas pilkada di lapangan.
Penyelenggaraan
pilkada di masa pandemi Covid-19 ini memiliki tantangan, baik dari sisi teknis
maupun kualitas penyelenggaraan. Jika tak diantisipasi dengan baik, pilkada
yang digelar di masa pandemi ini alih-alih melaksanakan demokrasi di tingkat
lokal dengan baik, pilkada justru melahirkan masalah baru baik dari sisi teknis
maupun nonteknis.
Tantangan teknis
penyelenggaraan pilkada di masa pandemi yang berkorelasi erat dengan pendanaan
pilkada. Penerapan protokol kesehatan dalam penyelenggaraan pilkada secara
pasti akan meningkatkan biaya penyelenggaraan pilkada.
Sebagai contoh, kebijakan
pengurangan kapasitas pemilih di setiap tempat pemungutan Suara (TPS) yang
semula 800 menjadi 500 pemilih dengan mempertimbangkan protokol kesehatan
physical distancing akan memberi konsekuensi penambahan TPS dan petugas di
lapangan. Kondisi inilah yang dapat menaikkan biaya pelaksanaan pilkada oleh
penyelenggara.
Tantangan kualitas
pelaksanaan pilkada di era pandemic ini indikator kualitas baik tidaknya
pelaksanaan pilkada tentu yang utama tak lain pelaksanaan pilkada, dimana dilakukan
secara demokratis yang di dalamnya terdapat sejumlah indikator penting yang tak
bisa ditawar-tawar. Di antaranya mengenai partisipasi masyarakat dalam pilkada tahun
ini yang merupakan tantangan serius bagi penyelenggara pemilu ditengah pandemi
ini.
Penyelenggara pilkada
harus memastikan keamanan dan keselamatan pemilih atas ancaman penularan
Covid-19 pada saat melakukan pencoblosan menjadi salah satu langkah untuk
meningkatkan partisipasi pemilih di tengah pandemi. Di samping itu, sosialisasi
pelaksanaan pilkada semestinya lebih dimaksimalkan. Opsi mengurangi sosialisasi
penyelenggaraan pilkada karena alasan pandemi merupakan opsi yang
kontraproduktif mengingat ancaman rendahnya partisipasi masyarakat membayangi
pilkada di musim pandemi ini. Penyelenggara dituntut untuk melakukan terobosan
dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pilkada.
Masalah lainnya yakni
peluang praktik politik uang (money politic) di tengah pandemi. Kondisi
perekonomian masyarakat yang terdampak serius akibat pandemi Covid-19 ini dapat
menjadi alasan bagi para kandidat untuk membagi-bagi uang, sembako dan
sejenisnya atas nama bantuan sosial bagi masyarakat terdampak. Oleh karennaya,
di tengah kondisi pandemi ini, ruang praktik politik uang seolah menemukan
momentumnya
Di samping itu,
politisasi program jaring pengaman sosial (social safe net) yang digulirkan
pemerintah dalam rangka bantuan atas dampak pandemi Covid-19 kepada masyarakat,
juga rawan menjadi ruang politisasi bagi kandidat petahanan (incumbent).
Merujuk penjelasan Kementerian Dalam Negeri, kandidat petahanan yang berpotensi
maju kembali dalam pilkada mendatang sebanyak 202 kandidat. Kualitas Pilkada
Pilkada di tengah pandemi ini pada akhirnya akan membuka praktik klientelisme politik,
yakni sikap permisif yang dilakukan oleh para aktor dalam pilkada yang di
dalamnya di antaranya pemilih dan pegiat kampanye memberikan dukungan kepada
kandidat namun dengan imbalan bantuan dan pemanfaatan material lainnya.
Di sisi yang lain,
kandidat menggunakan metode klientelistik untuk memenangkan pemilihan dengan
membagi bantuan, uang kepada calon pemilih dengan hadapan agar dipilih.
Padahal, pilkada semestinya menjadi ruang daulat rakyat untuk mengekspresikan
pendapat politiknya tanpa dihantui oleh apapun. Tak terkecuali oleh politik
uang dan imbalan material lainnya. Pilkada di momen pandemi perlu ditekankan
pada dua hal sekaligus.
Pertama, memastikan
teknis penyelenggaraan pilkada harus berjalan dengan baik. Persoalan teknis
yang memengaruhi kualitas pilkada harus diantisipasi agar tidak terjadi dalam
hajatan demokrasi lokal ini. Persoalan partisipasi pemilih, keselamatan pemilih
dan penyelenggara, sosialisasi penyelenggaraan pilkada dan visi misi kandidat
harus dipastikan tidak ada persoalan pada saat penyelenggaraan pilkada.
Kedua, memastikan
output penyelenggaraan pilkada menghasilkan kepala daerah yang bersih baik
dalam cara memenangkan pilkada maupun program kerja yang ditujukan untuk kepentingan
publik daerah. Pilkada harus menghasilkan pemimpin daerah yang mampu
menyejahterakan masyarakat di daerah. Lebih dari itu, kepala daerah hasil
pilihan rakyat daerah tidak terperangkap dalam korupsi politik yang sebelumnya
telah banyak menjerat kepala daerah. Dalam hal ini, peraturan KPU terkait
protokol pelaksanaan pilkada di situasi pandemi memiliki relevansi dan
signifikansi yang kuat.
Kendati demikian,
tantangan berat penyelenggaraan pilkada di momen pandemi ini tidaklah ringan.
Dibutuhkan kedisiplinan, kolaborasi, dan komitmen semua pihak agar dari sisi
teknis penyelenggaraan pilkada berhasil. Selain itu, pilkada di tengah pandemi
harus dipastikan tidak menjadi klaster baru penularan virus Covid-19 baik bagi
pemilih maupun bagi penyelenggara khususnya petugas pilkada di lapangan.
Tantangan
Penyelenggaraan pilkada di masa pandemi Covid-19 ini memiliki tantangan baik
dari sisi teknis maupun kualitas penyelenggaraan. Jika tak diantisipasi dengan
baik, pilkada yang digelar di masa pandemi ini alih-alih melaksanakan demokrasi
di tingkat lokal dengan baik, pilkada justru melahirkan masalah baru baik dari
sisi teknis maupun nonteknis.
Dari hal-hal yang
dijabarkan diatas, berikut gambaran bagaimana para kandidat tengah melancarkan
aksinya di era pandemi saat ini:
Seiring masa kampanye Pemilihan
Kepala Daerah yang dimulai pada Sabtu, 25 September 2020 lalu, para pasangan
calon mencari cara untuk mengumpulkan dukungan masyarakat dalam situasi pandemi
covid-19. Dalam beberapa jurnal dan informasi yang saya baca, diketahui bahwa Komisi
Pemilihan Umum telah menerbitkan revisi aturan yang melarang kampanye dengan
cara menciptakan kerumunan masa seperti rapat umum dan konser musik, serta
membatasi pertemuan tatap muka.
Dalam hal ini sebagian besar
kampanye diperkirakan akan dilangsungkan di dunia maya, pihak pemantau pemilu
juga memperingatkan akan bahaya konten disinformasi dan berita bohong. Namun,
tidak semua kandidat dalam Pilkada serta-merta mengalihkan kampanye mereka ke
media sosial. Tahapan Pilkada tetap dilaksanakan padahal sudah banyak dikritik
oleh banyak pihak.
Salah satu pasangan calon mengklaim
pendekatan untuk kampanye dari rumah ke rumah manjur serta ada yang mengatakan
pihaknya tetap berencana menggelar pertemuan fisik, di samping kampanye virtual
tentunya dengan mengedepankan protokol kesehatan Covid-19 serta tidak melanggar
aturan yang ditetapkan KPU. Padahal di era pandemi ini, kontak antarsosial pun
dibatasi, apalagi pendekatan dari rumah ke rumah. Karena tidak akan tahu
bagaimana virus corona ini ada pada seseorang, kecuali jika pasangan calon
masing-masing sudah melakukan test swab, namun ditekankan lagi, tidak semua
masyarakat di test swab sehingga tidak tahu dari siapa akan menularkan virus
tersebut.
Hal ini ditegaskan oleh KPU pada hari Rabu, 23 September, KPU dalam menetapkan Peraturan Peraturan Komisi Pemilihan Umum no. 13 tahun 2020 yang merevisi peraturan sebelumnya. Pasal 58 dalam peraturan baru menyatakan para kandidat dalam Pilkada serentak 2020 harus mengutamakan kegiatan kampanye di media sosial dan media daring. Jika kampanye tidak dapat dilakukan melalui media sosial dan media daring, maka dibolehkan pertemuan tatap muka dengan jumlah peserta yang hadir paling banyak 50 orang serta menerapkan protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Pada pasal 88C, KPU dengan tegas melarang tim kampanye melaksanakan kegiatan yang biasanya mengumpulkan massa dalam jumlah besar seperti rapat umum, kegiatan kebudayaan seperti pentas seni atau konser musik, kegiatan olahraga, perlombaan, kegiatan sosial, atau peringatan hari ulang tahun partai politik.
Kandidat yang melanggar akan mendapat sanksi berupa peringatan tertulis, penghentian dan pembubaran kampanye, serta larangan melakukan metode kampanye yang dilanggar selama tiga hari.
Seiring dengan
merebaknya segala hal yang terjadi akibat pandemi COVID-19
ini, KPU akhirnya mengeluarkan surat keputusan KPU Nomor:
179/PL.02-kpt/01/KPU/III/2020 yang antara lain mengatur penundaan beberapa
tahapan Pilkada 2020, di antaranya pelantikan dan masa kerja Panitia Pemungutan
Suara (PPS), verifikasi syarat dukungan calon perseorangan, pembentukan Petugas
Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) dan pelaksanaan pencocokan dan
penelitian (coklit), serta pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih.
Penundaan beberapa tahapan pilkada di atas dapat
menimbulkan berbagai dampak dalam penyelenggaraannya, baik yang sifatnya positif
maupun negatif. Dampak positif misalnya, penundaan ini memberikan ruang bagi
calon independen untuk menyiapkan persyaratan dukungan sebagai calon
perseorangan. Partai politik juga bisa relatif mengalami relaksasi dalam
melakukan proses rekrutmen calon kepala daerah.
Perubahan jadwal dianggap dipaksakan juga mengingat
kenaikan jumlah kasus positif COVID-19 belum melandai dan usai. Apalagi hingga
hari ini belum ada kepastian kapan pandemi ini akan berakhir. Seperti ada kesan
paksaan atas keluarnya Perppu Nomor 2 Tahun 2020.
Meskipun pada Perppu tersebut terdapat pasal yang
mengatur bahwa Pilkada 2020 dapat ditunda apabila situasi tidak memungkinkan,
pasal ini justru dianggap masyarakat sebagai sesuatu yang tidak pasti.
Namun
desakan menunda pilkada terus digaungkan demi aspek keselamatan kesehatan
masyarakat, ketahanan ekonomi, dan kualitas demokrasi. Harapannya pihak pemilu lebih tegas lagi dalam menyelenggarakan
pemilu ini, serta diteliti dan ditelaah terlebih dahulu mengingat kondisi yang
seperti ini, karena memang rencana menggelar
kampanye secara daring akan kurang efektif, khususnya di beberapa wilayah yang
tidak memiliki akses jaringan internet memadai. Lepas dari itu, partisipasi
pemilih di Pilkada Serentak 2020 berpotensi menurun, malah bisa saja berpotensi
membuat berbagai jenis kecurangan terjadi.
Pengamat politik Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam
mengatakan langkah ideal yang harus dilakukan pemerintah adalah menunda
penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 demi aspek keselamatan kesehatan
masyarakat, ketahanan ekonomi, dan kualitas demokrasi.
Berikut beberapa alasan mengapa pemilu harus ditunda:
Menunda penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 terbaik adalah
saat ini. Karena penundaan tidak boleh dilakukan setelah angka penyebaran kasus
Covid-19 semakin meningkat di satu atau dua bulan mendatang.
Pertama, pemerintah berharap penyelenggaraan pesta demokrasi
tahun ini bisa memperbaiki kondisi perekonomian nasional yang sedang buruk
akibat terdampak Covid-19, karena hal-hal tersebut akan berimplikasi positif
terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi suatu negara karena berkaitan dengan
perputaran uang. Namun belum tentu, karena
pemilu Serentak 2020 akan diselenggarakan dengan protokol Covid-19 yang
sangat ketat dan banyak dalam bentuk daring demi menghindari kerumunan
masyarakat.
Faktor kedua, partai penguasa dalam hal ini PDI Perjuangan
ingin mempertahankan kekuasaan di daerah.
Di saat yang sama, Khoirul menambahkan partai politik selain
PDIP juga berusaha agar Pilkada Serentak 2020 tidak diundaur kembali. Dia
berpendapat, pengunduran kembali penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 hanya
hanya akan menguntungkan calon petahanan sebagai pemegang kendali atas alokasi
anggaran daerah dan struktur pemerintahan daerah.
Selain
karena situasi pandemi Covid-19, tingkat partisipasi ini mengalami penurunan
dibandingkan 2017 ( 74,2%). Situasi normal saja target tidak tercapai dan
bahkan turun, lantas bagaimana dengan situasi sekarang
Pandemi
Covid-19 bukan hanya persoalan kesehatan, namun punya efek terhadap masalah
sosial, ekonomi, dan bahkan politik elektoral. Secara psikologis, bagi sekitar
106 juta pemilih di 270 daerah yang hendak menggelar pemilu, di tengah suasana
pandemi seperti sekarang ini, maka datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS)
untuk memberikan hak pilih bukanlah hal prioritas.
Setiap
warga kini sedang berjuang keras untuk tetap bisa survive. Alih-alih memikirkan
pilkada, yang mereka pikirkan adalah bagaimana bisa mengisi perut yang telah
dikencangkan ikat pinggangnya selama enam bulan terakhir.
Selain
itu, secara teknis, menyesuaikan penyelenggaraan pilkada dengan protokol
kesehatan di tengah pandemi bukan perkara mudah. Bayangkan, pemungutan suara
dinilai sukses antara lain ditandai besarnya kerumunan masyarakat di TPS. Tentu
lantaran kondisi pandemi, kerumunan justru dilarang sehingga penyelenggara
pilkada harus mendesain ulang teknis pelaksanaannya.
Selain
akan rumit lantaran kita belum punya pengalaman menyelenggarakan pilkada di
tengah pandemi, pelaksanaan pilkada dengan protokol kesehatan juga membutuhkan
budget tidak sedikit. Apalagi salah satu cara untuk mengurangi kerumunan,
jumlah TPS harus diperbanyak. Artinya, logistik dan petugas pun harus lebih
banyak ketimbang pilkada biasanya.
Ini belum teknis di lapangan bagaimana pemilih yang ketika waktu pencoblosan tiba sedangkan ia menjadi pasien positif Covid-19. Apakah yang bersangkutan dibolehkan datang ke TPS dan diberikan tempat khusus yang terpisah dari yang lain, atau didatangi ke rumahnya ketika mereka masih dalam isolasi mandiri. Sebab, jika tidak ada aturan yang jelas dan pasti, mereka yang terpapar Covid-19 berpotensi kehilangan hak pilihnya.
Menyelenggarakan pemilu ditengah pandemi yang berhasil, seperti Korea.
Dalam hal ini, jika memang adanya tuntutan agar pemilu diselenggarakan, maka Indonesia perlu belajar dari kesuksesan Korea Selatan dalam menyelenggarakan pemilu di tengah pandemi. Memang harus diakui, Indonesia bukan satu-satunya negara yang akan menggelar pemilu di tengah pandemi Covid-19, ada 54 negara dan teritori telah memutuskan untuk menyelenggarakan pemilu nasional atau sub nasional, dan setidaknya ada 18 negara dan teritori yang telah menyelenggarakan pemilu. Dari jumlah itu, setidaknya 12 telah menyelenggarakan pemilu atau referendum nasional. Namun catatannya, mayoritas dari 12 negara yang menggelar pemilu di masa pandemi Covid-19 mengalami problem serius soal partisipasi pemilih. Semuanya menurun. Hanya tiga negara yang mengalami kenaikan partisipasi, yakni Korea Selatan (dari 58,03 % naik jadi 66,21%), Polandia (dari 55,34% jadi 68,18%), dan Singapura (dari 93,70% jadi 95,81%).
Sebab, selain berhasil mencetak partisipasi pemilu terbaik sejak 1992, seperti dikatakan Duta Besar Korea Selatan untuk Indonesia, Negeri Ginseng tersebut menjadi satu-satunya negara di dunia yang telah berhasil menyelenggarakan pemilu tanpa satu orang pun terpapar Covid-19. Padahal saat itu sudah ada 10.000 lebih warganya positif Covid-19.
Salah satu
rahasia kesuksesan Korea Selatan dalam penyelengaraan pemilu legislatif pada 15
April 2020 lalu itu adalah soal kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara.
Artinya, negara melalui penyelengara pemilu mampu memastikan dan meyakinkan
kepada publik ketika memberikan hak pilihnya di TPS aman dari penularan
Covid-19. Ini penting karena tanpa ada kepastian soal itu, publik cenderung
memilih di rumah saja ketimbang datang ke TPS.
Karena
itu, penyelenggara pilkada perlu penyusun langkah-langkah taktis-strategis
supaya gelaran Pilkada 2020 dapat berjalan dengan baik dan target partisipasi
dapat tercapaiatau minimal tidak menurun dari capaian sebelumnya. Salah satu
caranya ialah dengan menggalakkan sosialisasi. Sosialisasi di sini dapat dibagi
dua, yakni sosialisasi terkait pentingnya partisipasi dan sosialisasi terkait
kesiapan penyelenggara guna meyakinkan publik.
Sosialisasi
terkait pentingnya partisipasi ini penting karena selama ini porsi
penyelenggara pilkada lebih getol sosialisasi terkait hal teknis ketimbang
sosialisasi terkait pentingnya partisipasi. Harusnya, porsi sosialisasi ihwal
pentingnya berpartisipasi dalam hajatan demokrasi lebih gencar dilakukan dan
diperbesar frekuensinya.
Sedangkan
terkait sosialisasi kesiapan penyelenggara, perlu disampaikan kepada publik
bahwa pilkada di tengah pandemi dapat dipastikan aman dari penyebaran Covid-19.
Segala bentuk protokol kesehatan pun sudah disiapkan dengan matang. Di sisi
lain, pemerintah melalui Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 harus
bekerja ekstra menekan laju dan mata rantai penyebaran Covid-19. Menurunnya
laju penyebaran Covid-19 dapat memupuk kepercayaan masyarakat ketika hendak
mencoblos di TPS nanti.
Sebab itu,
gotong royong dan kesadaran bersama dalam melakukan sosialisasi sangat
diperlukan di sini. Termasuk juga peran media dalam ikut serta membantu
mengkampanyekan ihwal pentingnya partisipasi dalam hajatan elektoral.
Secara
esensial, partisipasi dalam pesta demokrasi harus ditempatkan pada posisi yang
krusial. Partisipasi bentuk lain dari kedaulatan rakyat. Partisipasi merupakan
bentuk perwujudan negara demokrasi. Dimensi penting dari esensi demokrasi ialah
partisipasi. Partisipasi mengejawantahkan adagium klasik vox populi vox
dei (suara rakyat adalah suara Tuhan).
Melalui
partisipasi, publik punya mandat dan legitimasi yang kuat dalam pemerintahan
demokrasi. Semakin tinggi partisipasi, maka kian kuat mandat dan legitimasi
publik. Sebaliknya, bila partisipasi rendah berimplikasi pada lemahnya mandat
dan legitimasi publik.
Karena
itulah, partisipasi dalam hajatan elektoral bukan saja menjadi afirmasi penting
bagi sukses tidaknya kinerja para penyelenggara, melainkan juga sebagai penanda
dari manifestasi aktualisasi kedaulatan rakyat.
Comments
Post a Comment