LEMBAGA TINGGI NEGARA
A. Pengertian Lembaga Tinggi Negara
Lembaga
Tinggi Negara merupakan institusi-institusi negara yang secara langsung diatur
atau memiliki kewenanagan yang diberikan oleh UUD 1945 yang dibentuk
berdasarkan hukum untuk menjalankan fungsi-fungsi negara, lembaga negara ini
adalah lembaga pemerintahan (Civilazated Organisation) yang dibuat oleh, dari,
dan untuk negara.
Lembaga
negara bertujuan untuk membangun negara itu sendiri. Secara umum tugas lembaga
negara antara lain menjaga stabilitas keamanan, politik, hukum, HAM, dan budaya,
menjadi bahan penghubung antara negara dan rakyatnya, serta yang paling penting
adalah membantu menjalankan roda pemerintahan.
B. Macam-macam Lembaga Tinggi Negara
Ada dua unsur pokok yang saling berkaitan ketika berbicara mengenai organisasi negara yakni organ dan functie. Organ adalah bentuk atau wadahnya, sedangkan functie adalah isinya. Macam- macam organ negara/lembaga negara dapat dibedakan dari beberapa segi yakni;
Adapun
lembaga-lembaga yang tercantum sebagai lembaga tinggi negara menurut UUD NKRI
1945 adalah:
1. Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Sebelum
amandemen UUD 1945, susunan anggota MPR terdiri dari anggota-anggota DPR namun ditambah
dengan utusan daerah, golongan politik, dan golongan karya (Pasal 1 ayat 1 UU
No. 16 Tahun 1969). Terkait dengan kedudukannya sebagai Lembaga Tertinggi
Negara, MPR diberi kekuasaan tak terbatas (super power) karena kekuasaan ada di
tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR dan MPR adalah penjelmaan dari
seluruh rakyat Indonesia yang berwenang menetapkan UUD, GBHN, mengangkat
presiden dan wakil presiden. Hal yang paling menonjol mengenai MPR setelah
adanya amandemen UUD adalah dihilangkannya kedudukan MPR sebagai lembaga
tertinggi negara.
2.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Keanggotaan
DPR sebagai lembaga tinggi negara terdiri dari golongan politik dan golongan
karya yang pengisiannya melalui pemilihan dan pengangkatan. Perubahan ini juga
mempengaruhi hubungan antara DPR sebagai lembaga legislatif dan presiden
sebagai lembaga eksekutif, yaitu dalam proses serta mekanisme pembentukan UU.
3. Dewan Perwakilan Daerah
(DPD)
Sebagai
lembaga negara yang baru dibentuk setelah amandemen UUD, DPD dibentuk dengan
tujuan untuk mengakomodasi kepentingan daerah sebagai wujud keterwakilan daerah
ditingkat nasional. Hal ini juga merupakan tindak lanjut peniadaan utusan
daerah dan utusan golongan sebagai anggota MPR. Sama halnya seperti anggota
DPR, anggota DPD juga dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu (Pasal
22 C ayat (1) UUD NRI 1945).
4.
Lembaga Kepresidenan
a)
Lembaga Kepresidenan Sebelum Amandemen UUD 1945
Presiden
adalah mandataris MPR, yang wajib menjalankan putusan-putusan MPR. Secara
eksplisit Penjelasaan UUD 1945 (sebelum perubahan) menyebutkan bahwa Presiden
ialah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi dibawah Majelis
Permusyawaran Rakyat. Presiden pun adalah penyelenggara Pemerintah negara yang
tertinggi dalam menjalankan pemerintahan Negara, kekuasaan dan tanggungjawab
adalah ditangan presiden (concentration of power and responsibility upon the
President).
Presiden
tidak bertangggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat , demikian pula dengan
Menteri Negara sebagai pembantu Presiden tidak bertanggungjawab kepada DPR.
Namun hal ini tidak berarti kekuasaan Presiden tidak terbatas, pada bagian lain
penjelasan UUD 1945 (sebelum perubahan) dinyatakan bahwa Kekuasaan Kepala
Negara tidak tak terbatas sebab Presiden bertanggungjawab kepada Majelis
Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi Negara, walalupun hal ini
tidak diatur secara eksplisit dalam UUD 1945, demikian halnya dalam pasal 5 TAP
MPR No. VI/MPR/1973 tentang kedudukan dan hubungan tata kerja Lembaga tertinggi
Negara dengan/ atau antar lembaga- lembaga tinggi Negara yang berbunyi:
1) Presiden
tunduk dan bertanggungjawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat dan pada
akhir masa jabatannya memberikan pertanggungan jawab atas pelaksanaan Haluan
Negara yang ditetapkan oleh Undang – Undang Dasar atau Majelis di hadapan
Sidang.
2) Presiden
wajib memberikan pertanggungan jawab dihadapan sidang istimewa Majelis yang
khusus diadakan untuk meminta pertanggungan jawab Presiden dalam pelaksanaan
Haluan Negara yang ditetapkan oleh Undang – Undang Dasar atau Majelis.
Ketentuan diatas tidak
menyebutkan arti pertanggungjawaban yang dimaksud, Pertanggungjawaban tersebut
dalam arti yang luas dapat dilihat dalam TAP MPR No. I/MPR/1973 huruf (d) dan
(e) yang berbunyi:
1) meminta
dari dan menilai pertanggungan jawab Presiden tentang pelaksanaan Garis-Garis
Besar Haluan Negara.
2) mencabut
jabatannya apabila Presiden sungguh-sungguh melanggar GBHN dan/atau UUD.
Dengan
demikian adalah logis Jika Presiden dapat diberhentikan oleh MPR meskipun masa
jabatannya belum berakhir, hal ini disebabkan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai
pemegang kedaulatan rakyat dan sebagai lembaga tertinggi diatas Presiden.
Pasal
7 UUD 1945 (sebelum perubahan) menyebutkan: “Presiden dan wakil Presiden
memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih
kembali”. Dalam UUD 1945 (sebelum perubahan), persyaratan menjadi Presiden
diatur dalam pasal 6 ayat (1) yang menyebutkan bahwa Presiden ialah orang
Indonesia asli.
Syarat
lainnya diatur dalam Ketetapan MPR No. II/MPR/1973, yakni ; warga Negara
Indonesia; telah berusia 40 tahun; bukan orang yang sedang dicabut haknya dalam
pemilihan umum; bertaqwa kepada tuhan yang maha Esa, setia kepada cita-cita
Proklamasi 17 agustus 1945, Pancasila, dan UUD 1945; bersedia menjalankan
haluan Negara menurut GBHN yang telah ditetapkan MPR; berwibawa; jujur; cakap;
adil; dukungan dari rakyat yang tercermin dalam Majelis; tidak pernah terlibat
baik langsung maupun tidak langsung dalam setiap kegiatan yang mengkhianati
Negara Kesatuan Republik yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 seperti gerakan
G.30.S/PKI dan/atau organisasi terlarang lainnya; tidak sedang menjalani pidana
berdasarkan keputusan pengadilan yang tidak dapat diubah lagi karena tindak
pidana yang diancam pidana sekurang – kurangnya 5 tahun; tidak terganggu
jiwa/ikatannya.
b)
Lembaga Kepresidenan Setelah Amandemen UUD 1945
UUD
1945 sebelum perubahan memberikan pengaturan yang dominan terhadap lembaga
kepresidenan, baik jumlah pasal maupun kekuasaannya. Tiga belas ( pasal 4
sampai pasal 15 dan pasal 22) dari 37 pasal UUD 1945 mengatur langsung mengenai
Jabatan Kepresidenan, selain itu terdapat ketentuan lain yang juga masih
berkaitan dengan Lembaga Kepresidenan yakni tentang APBN, ketentuan yang
mengatur wewenang MPR, DPR, DPA, BPK, undang - undang Organik, dan lain - lain.
UUD
1945 Setelah Perubahan merumuskan Pesyaratan Calon Presiden dan Wakil Presiden
dalam pasal 6 ayat (1) yang berbunyi: “calon
Presiden dan wakil Presiden harus seorang warga Negara Indonesia sejak
Kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya
sendiri, tidak pernah mengkhianati Negara, serta mampu secara rohani dan
jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan wakil
Presiden” dan ayat (2) yang berbunyi: “syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan
wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang.”
Perubahan
yang paling Fundamental setelah perubahan UUD 1945 ialah dipilihnya Presiden
dan wakil Presiden secara langsung oleh rakyat melalui Pemilu. Hal ini diatur
dalam pasal 6A ayat (1)49, (2)50, (3)51, (4)52, (5)53, perubahan ini didasari
pemikiran untuk mengejwantahkan paham kedaulatan rakyat. Disamping itu dengan
dipilih secara langsung oleh rakyat, menjadikan Presiden dan wakil Presiden
mempunyai legitimasi yang lebih kuat dalam artian memperkuat sistem Presidensiil
yang kita anut dengan salah satu cirinya yaitu adanya periode masa jabatan yang
pasti ( fixed term ) dari Presiden dan Wakil Presiden.
Presiden
dan Wakil Presiden tidak dapat dijatuhkan dalam masa jabatannya kecuali
melanggar hukum berdasar hal-hal yang tercantum dalam UUD 1945 melalui prosedur
yang konstitusional, yang dikenal dengan impeachment yang menunjukkan
konsistensi penerapan paham Negara hukum, yaitu bahwa tidak ada pengecualian
penerapan hukum, bahkan terhadap Presiden.
Walaupun
dipilih oleh rakyat untuk memimpin dan memegang kekuasaan Pemerintahan Negara,
sebagai manusia Presiden dan/atau Wakil Presiden bisa saja melakukan kesalahan
atau pelanggaran hukum yang merusak sendi – sendi hidup bernegara dan
mencederai hukum, karenanya Presiden dan/atau wakil Presiden dapat
diberhentikan dengan alasan tertentu yang disebutkan secara limitative dalam
UUD 1945, yakni ; melalui proses politik (dengan adanya pendapat DPR dan
keputusan pemberhentian MPR), dan melalui proses hukum (dengan cara Mahkamah
Konstitusi memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR).
5.
Mahkamah Agung (MA)
Ketentuan
mangenai Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial diatur dalam
UUD 1945 BAB IX tentang kekuasaan kehakiman. Ketentuan umun siatur dalam pasal
24 dan ketentuan khusus mengenai Mahkamah Agung dalam pasal 24A yang terdiri
atas lima ayat. Mahkamah
Agung adalah puncak dari kekuasaan Kehakiman dalam lingkungan peradilan umum,
peradilan agama, peradilan tata usaha, dan peradilan militer. Mahkamah ini pada
pokoknya merupakan pengawal undang-undang.
Dengan
diamandemennya UUD 1945, maka posisi hakim agung menjadi kuat karena mekanisme
pengangkatan hakim agung diatur sedemian rupa dengan melibatkan tiga lembaga,
yaitu DPR, Presiden dan Komisi Yudisial.
Komisi
Yudisial ini memang merupakan lembaga baru yang sengaja dibentuk untuk
menangani urusan terkait pengangkatan hakim agung serta penegakan kehormatan,
keluhuran martabat dan perilaku hakim (Pasal 24B ayat (1) perubahan ketiga UUD
1945). Yang anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh presiden
dengan persetujuan DPR (Pasal 24B ayat (3) perubahan ketiga UUD 1945).
6.
Mahkamah Konstitusi (MK)
Dalam
menjalankan fungsinya sebagai pengawal konstitusi. Dalam konstitusi 1945
pengaturan mengenai Mahkamah Konstitusi diatur dalam pasal 24C yang terdiri
dari 6 ayat, yang didahului dengan pengaturan mengenai Komisi Yudisial pada
pasal 24B. Semula pengaturan mengenai Komisi Yudisial tersebut hanya
dimaksudkan terkait dengan keberadaan Mahkamah Agung, tidak dengankeberadaan
mahkamah konstitusi.
Jika
dibandingkan dengan sesama lembaga tinggi lainnya, kedudukan Mahkamah
Konstitusi memiliki posisi yang unik. DPR yang membentuk undang-undang tetapi
MK yang membatalkannya jika bertentangan dengan UUD. MA mengadili semua
ketentuan hukum yang berada dibawah UUD. Jika DPR ingin mengajukan tuntutan
pemberhentian terhadap Presiden dalam masa jabatannya, maka sebelum diajukan ke
MPR untuk diambil putusan, maka tuntutan tersebut harus diajukan dulu pada MK untuk
mendapat pembuktian secara hukum. Semua lembaga Negara yang saling berselisih
atau bersengketa dalam melaksanakan keweangan konstitusionalnya maka yang
memutus final dan mengikat atas persengketaan adalah Mahkamah Konstitusi.
7. Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK)
Untuk
memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa
Keuangan yang peraturannya ditetapkan dengan undang- undang. Hasil Pemeriksaan
itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam pasal 23 yang berbunyi :
a. Anggaran
pendapatan dan belanja ditetapkan tiap-tiap tahun dengan undang-undang. Apabila
Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan pemerintah,
maka pemerintah menjalankan anggaran tahun yang lalu.
b. Segala
pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang.
c. Macam
dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang.
Setelah
Amandemen UUD 1945 terjadi beberapa perubahan mendasar mengenai (i) keuangan
Negara dan pengelolaan keuangan Negara. (ii) struktur organisasi dan BPK
berubah secara sangat mendasar, yakni:
Pertama,
pengertian keuangan Negara dan dan pengelolaan keuangan Negara berubah secara
mendasar, jika sbelumnya uang Negara dalam konteks APBN maka skarang pengertian
uang Negara menjadi luas mencakup uang Negara yang terdapat atau dikuasai oleh
subyek badan hukum perdata atau perorangan, asal merupakan uang atau asset yang
dimiliki Negara tetap termasuk dalam uang negara.
Kedua,
keweangan dan kedudukan BPK semakin kuat. pasal 23E ayat 1 UUD 1945 menyebutkan
bahwa: “untuk memeriksa keuangan dan tanggung jawab keuangan Negara, diadakan
suatu badan pengawas keuangan yang bebas dan mandiri”. Dalam pasal 23G ayat 1
menyebutkan: “BPK berkedudukan di ibu kota Negara, dan memiliki perwakilan
disetiap provinsi. Artinya, UUD mewajibkan BPK ada disetiap provinsi.
8. Komisi
Yudisial
Komisi
Yudisial adalah lembaga negara yang mempunyai wewenang berikut ini:
a.
mengusulkan pengangkatan hakim agung;
b.
menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Anggota
Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman dibidang hukum serta
memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela. Anggota Komisi Yudisial
diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan DPR. Anggota Komisi
Yudisial terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua
merangkap anggota, dan tujuh orang anggota. Masa jabatan anggota Komisi
Yudisial lima tahun.
C. Dasar
hukum beserta tugas dan wewenang lembaga tinggi Negara
C. Dasar
hukum beserta tugas dan wewenang lembaga tinggi Negara
No |
Nama
Lembaga Negara |
Dasar
Hukum |
Tugas
dan Wewenang |
1 |
Presiden |
Pasal 4 ayat (1)
UUD 1945, Pasal 5 ayat (1) dan (2 UUD 1945), Pasal 11 ayat (1) UUD 1945,
Pasal 12 UUD 1945, Pasal 13 ayat (1) UUD 1945, Pasal 14 ayat (1) dan (2) UUD
1945, Pasal 15 UUD 1945, Pasal 16 UUD 1945, Pasal 17 ayat 2
UUD 1945, Pasal 20 ayat (2) UUD 1945, Pasal 24A ayat (3) UUD 1945, Pasal
24C ayat (3) UUD 1945 |
1.
Memegang
kekuasaan 2.
Memegang
kekuasaan yang tertinggi 3.
Mengajukan
Rancangan 4.
Menetapkan
peraturan 5.
Mengangkat dan
memberhentikan 6.
Menyatakan
perang, membuat perdamaian 7.
Membuat
perjanjian 8.
Menyatakan
keadaan bahaya 9.
Mengangkat duta
dan 10. Menerima penempatan duta negara 11. Memberi grasi, rehabilitasi dengan 12. Memberi amnesti dan abolisi dengan 13. Memberi gelar, tanda jasa, 14. Meresmikan anggota Badan 15. Menetapkan hakim agung dari calon 16. Menetapkan hakim konstitusi 17. Mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial
dengan persetujuan DPR. |
2 |
Mahkamah Agung |
Pasal 24 ayat (2)
UUD 1945, Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 |
1.
Mengadili pada
tingkat kasasi 2.
Menguji peraturan 3.
Memberikan
pertimbangan hukum 4.
Mengajukan tiga
orang anggota hakim konstitusi |
3 |
Mahkamah
Konstitusi |
Pasal 24C ayat
(1) san (2) UUD 1945 |
1.
Berwenang
mengadili pada tingkat 2.
Wajib memberi
keputusan atas 3.
Menguji
undang-undang 4.
Memutus sengketa
kewenangan 5.
Memutus pembubaran
partai 6.
Memutus
perselisihan tentang hasil pemilu. |
4 |
Majelis
Permusyawaratan Rakyat |
Pasal 2 UUD 1945
& Pasal 3 UUD 1945 |
1.
Mengubah serta
menetapkan UUD. 2.
Melantik Presiden
serta Wakil 3.
Memutuskan usul
DPR berdasarkan 4.
Melantik Wakil
Presiden menjadi 5.
Memilih Wakil
Presiden dari dua 6.
Memilih Presiden
serta Wakil Presiden 7.
Menetapkan peraturan
tata tertib serta kode etik MPR. |
5 |
Dewan Perwakilan
Rakyat |
Pasal 20 ayat (1)
dan (2) UUD 1945, Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, Pasal 23 ayat (2) UUD 1945,
Pasal 22D ayat (3) UUD 1945, Pasal 22E ayat (2) UUD 1945, Pasal 24B ayat (3)
UUD 1945, Pasal 24A ayat (3) UUD 1945,Pasal 14 ayat (2) UUD 1945, Pasal 11
ayat (2) UUD 1945 |
1.
Membentuk
undang-undang yang 2.
Membahas dan
memberikan atau 3.
Menerima dan
membahas usulan 4.
Mengundang DPD
untuk melakukan 5.
Memperhatikan
pertimbangan 6.
Membicarakan APBN
bersama 7.
Membahas dan
menindaklanjuti 8.
Memilih anggota
Badan Pemeriksa 9.
Membahas dan
menindaklanjuti 10. Mengajukan, memberikan 11. Menyerap, menghimpun, menampung 12. Melaksanakan tugas dan wewenang 13. Membentuk UUD yang dibahas 14. Menetapkan APBN bersama 15. Melaksanakan pengawasan 16. Memilih anggota BPK dengan 17. Membahas dan menindaklanjuti 18. Memberikan persetujuan 19. Membentuk Undang-Undang yang 20. Memberikan pertimbangan 21. Memberikan pertimbangan 22. Memilih anggota BPK dengan memperhatikan 23. Membahas dan menindaklanjuti 24. Memberikan persetujuan 25. Memberikan persetujuan calon 26. Memilih tiga orang hakim konstitusi dan mengajukannya
kepada Presiden untuk diresmikan dengan keputusan Presiden |
6 |
Dewan Perwakilan Daerah |
Pasal 22D ayat
(1), (2), (3) UUD 1945, Pasal23F ayat (1) UUD 1945 |
1.
Mengajukan 2.
Memberikan
pertimbangan kepada DPR 3.
Memberikan
pertimbangan kepada DPR 4.
Melakukan
pengawasan atas 5.
Menerima hasil
pemeriksaan keuangan negara dari BPK untuk dijadikan bahan membuat
pertimbangan bagi DPR tentang RUU yang berkaitan dengan APBN |
7 |
Komisi Yudisial |
Pasal 24A ayat
(3)) UUD 1945,Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 |
1.
Mengawasi
perilaku hakim 2.
Mengusulkan nama
calon hakim agung. |
8 |
Badan Pemeriksa
Keuangan |
Pasal 23E, 23F,
23G Undang-undang dasar 1945 2. Undang-undang Republik Indonesia nomor 15
tahun 2006 tentang badan pemeriksa keuangan sebagai pengganti undang-undang
republik Indonesia nomor 5 tahun 1973 tentang badan pemeriksa keuangan. 3.
Undang-undang republik Indonesia nomor 15 tahun 2004 tentang pemeriksaan
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. 4. Undang-undang republik
Indonesia nomor 1 tahun 2004 tentang perbendaharaan negara. 5. Undang-undang
republik Indonesia nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan negara. |
1.
Berwenang
mengawasi dan memeriksa 2.
Mengintegrasi
peran BPKP sebagai instansi pengawas internal departemen yang bersangkutan ke
dalam BPK. |
D.
Kedudukan
dan Fungsi Lembaga Tinggi Negara
Yang dimaksud dengan kedudukan lembaga negara adalah
tempat lembaga negara dalam hubungannya dengan lembaga-lembaga lainnya. Jika
mencermati ketentuan dalam UUD 1945 berkaitan dengan lembaga-lembaga negara,
maka terdapat perubahan yang mendasar tentang kedudukan lembaga negara. Dalam
UUD 1945 sebelum amandement, maka MPR memegang kekuasaan yang superior sebagai
pemegang kedaulatan rakyat sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat
(2). Karena itulah lembaga negara terbagi menjadi 2 yakni lembaga ”tertinggi”
dan lembaga ”tinggi” negara. Hal tersebut ditegaskan dalam TAP MPR III/MPR/1978
tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau
Antara Lembaga Tinggi Negara.
Setelah amandement UUD 1945 ketentuan tersebut berubah,
dimana MPR bukan lagi merupakan lembaga tertinggi negara melainkan sebagai
lembaga negara sama dengan lembaga-lembaga negara lainnya. Hal tersebut
ditentukan dalam Pasal 1 ayat (2) yang menyebutkan bahwa: ”Kedaulatan ditangan
rakyat dan dilakukan menurut UUD”.
1.
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
MPR adalah lembaga negara. Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR), sekarang ini bukan lagi merupakan lembaga tertinggi negara. Ia adalah
lembaga negara yang sederajat dengan lembaga negara lainnya. Dengan tidak
adanya lembaga tertinggi negara maka tidak ada lagi sebutan lembaga tinggi
negara dan lembaga tertinggi negara. Semua lembaga yang disebutkan dalam UUD
1945 adalah lembaga negara.
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) merupakan lembaga pelaksana
kedaulatan rakyat oleh karena anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
adalah para wakil rakyat yang berasal dari pemilihan umum. MPR bukan pelaksana
sepenuhnya kedaulatan rakyat sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD
1945 ,perubahan ketiga bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut undang-undang dasar.
Pasca amandement terdapat tiga perubahan mendasar tentang
lembaga MPR yakni dari segi kedudukan sebagaimana diurakan diatas, dari segi
keanggotaan, dan kewenangan. Dari segi keanggotaan maka berdasarkan ketentuan Pasal 2
ayat (1) UUD 1945, maka MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih
melalui Pemilu. Jika DPR dipilih melalui pemilu dengan basis partai, maka DPD yang merupakan wakil daerah
dipilih melalui pemilu dari daerah-daerah yang bersangkutan. Perluasan keanggotaan MPR tersebut
dimaksudkan agar perwakilan tidak hanya diterdiri dari unsur politik tetapi
juga daerah, sehingga MPR betul-betul dianggap sebagai penjelmaan rakyat.
Tugas dan wewenang MPR dalam UUD Tahun 1945 juga
mengalami perubahan setelah dilakukannya amandemen terhadap UUD Tahun 1945. Tugas dan
wewenang MPR sebelum perubahan UUD Tahun 1945 adalah; menetapkan UUD dan
Garis-Garis Besar Haluan Negara (Pasal 3), memilih Presiden dan Wakil Presiden
[Pasal 6 ayat (2)] dan melakukan perubahan terhadap UUD (Pasal 37). Dalam UU
No.4 Tahun 1999 tentang Susduk MPR, DPR dan DPRD, tidak ditentukan secara
terperinci mengenai tugas dan wewenang MPR, namun hal tersebut diatur dalam
Peraturan Tata Tertib MPR Tahun 1999 dalam Bab II-nya.
Pasal 3 Peraturan Tata Tertib tersebut menyebutkan bahwa
Majelis mempunyai tugas ; menetapkan UUD, Menetapkan GBHN serta memilih dan
mengangkat Presiden dan Wakil Presiden. Kemudian dalam Pasal 4 ditentukan bahwa
Majelis mempunyai wewenang: membuat putusan-putusan yang tidak dapat dibatalkan
oleh Lembaga Negara yang lain, termasuk penetapan GBHN yang pelaksanaannya
ditugaskan kepada Presiden/Mandataris.
Setelah perubahan terhadap UUD Tahun 1945, maka tugas dan
wewenang MPR sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 UUD 1945 adalah; (1) mengubah
dan menetapkan UUD, (2) Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden, serta (3)
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut
UUD. Pemberhentian dalam masa jabatannya hanya dapat dilakukan jika Presiden
dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela maupun bila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/ atau Wakil Presiden (Pasal 7A). Selain kewenangan tersebut
kewenangan lainnya adalah melakukan pemilihan Presiden dan/atau Wakil Presiden
jika terjadi kekosongan jabatan (Pasal 8).
Tugas dan wewenang MPR secara terperinci juga dirumuskan
dalam Pasal 11 UU No.22 Tahun 2003 yakni; mengubah dan menetapkan UUD, melantik
Presiden dan/atau Wakil Presiden, memutuskan usul DPR berdasarkan putusan MK
untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya,
melantik Wakil Presiden menjadi Presiden jika Presiden berhalangan, memilih
Wakil Presisen bila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa
jabatannya, dan memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden apabila keduanya
berhenti secara bersamaan. Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam perubahan
UUD Tahun 1945, maupun UU Nomor 22.
Tahun 2003, maka secara kelembagaan jelas bahwa MPR adalah merupakan lembaga yang permanen, bukan sebagai sidang gabungan (joint session). Kepermanenan lembaga tersebut sebagai akibat adanya perangkat-perangkat penuh sebagai sebuah lembaga yakni; adanya kelengkapan administrasi dan organisasional anggota individu, kesekretariatan tersendiri untuk menjalankan fungsinya, mempunyai aturan-aturan tersendiri yang mengatur masalah internal lembaga tersebut. Adapun fungsi MPR sebelum dan sesudah adanya amendemen UUD 1945 tetap sama yaitu sebagai berikut:
a. MPR sebagai lembaga perwakilan rakyat mengawasi jalannya pemerintahan, Fungsi MPR yang ini adalah mengawasi jalannya pemerintahan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan eksekutif (presiden). Dengan adanya fungsi pengawasan ini, maka MPR mampu untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan yang dimiliki oleh presiden yang berpotensi untuk merugikan atau menindas rakyat.
b. Sebagai pemegang kekuasaan legislatif, dalam hal ini MPR memiliki fungsi untuk membuat dan menyusun undang-undang sesuai keinginan rakyat yang diinterpretasikan dalam undang-undang, sehingga dapat memunculkan suatu peraturan perundang-undangan baru yang dapat mengayomi kebutuhan seluruh masyarakat Indonesia secara umum dan luas.
2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang mempunyai
kedudukan sebagai lembaga negara. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
atau yang lebih dikenal dengan DPR-RI atau DPR merupakan salah satu lembaga
Tinggi negara yang tergabung dalam lembaga legislatif di dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia sebagai lembaga perwakilan rakyat. Dewan Perwakilan
Rakyat terbentuk dari anggota partai politik yang berperan sebagai peserta
pemilihan umum yang telah dipilih melalui mekanisme pemilu.
Negara indonesia merupakan negara kesatuan berbentuk
Republik yang sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya disingkat UUD NRI 1945. Bahwa
kekuasaan pemerintah harus berlandaskan UUD NRI 1945.
Didalam UUD NRI 1945 Pasca Amandemen, terdapat suatu pergeseran kekuasaan antara
presiden dan DPR. Hal tersebut berada pada fungsi legislasi yang sebelumnya
menjadi kekuasaan seorang presiden, maka setelah terjadinya amandemen UUD NRI
1945 fungsi legislasi berpindah menjadi kekuasaan DPR sebagaimana yang
termaktub dalam Pasal 5 ayat (1) Amandemen UUD NRI 1945.
Pada
pasal tersebut menjelaskan bahwa, Presiden berwenang
mengajukan rancangan Undang-Undang kepada DPR. Pasal 20 bahwa, DPR memegang kekuasaan
membentuk Undang-Undang. Dalam hal ini perlu digaris bawahi bahwa titik berat
kekuasaan legislasi nasional yang pada mulanya berada pada seorang presiden
beralih kepada DPR.
Sebagaimana telah dikemukakan diatas, konsep pemisahan
kekuasaan (separation of power) menghendaki kekuasaan negara dipisahkan ke
dalam cabang legislatif, eksekutif dan yudikatif untuk menghindari terjadinya
penumpukan kekuasaan, yang berpeluang mengakibatkan terjadinya tirani dalam
suatu negara. Lembaga legislatif dipahami sebagai lembaga pembuat peraturan
perundang- undangan. Selaku lembaga, legislatif selalu dipengaruhi oleh bentuk,
sistem pemerintahan serta prosedur yang berlaku dalam hal pembuatan peraturan
perundang-undangan itu sendiri.
Dalam sistem ketatanegaraan yang berlaku di berbagai
negara, maka lembaga DPR disebut dengan berbagai nama antara lain; National
Assembly (Vietnam, Laos), People’s Assembly (Myanmar), House of Commons
(Inggris), House of Representatives (Amerika Serikat, Filipina, dsb-nya). Di
negara yang menganut sistem perwakilan bikameral maka DPR disebut pula dengan
majelis rendah (lower house) atau kamar kedua dan biasanya dipilih dalam
pemilihan umum (pemilu).
Dalam Pasal 20A UUD Tahun 1945 jo Pasal 25 UU No.22 Tahun
2003 DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.
Dalam penjelasan Pasal 25 UU No.22 Tahun 2003 dijelaskan bahwa; fungsi
legislasi, adalah fungsi membentuk UU yang dibahas dengan Presiden untuk
mendapat persetujuan bersama. Fungsi anggaran, adalah fungsi menyusun dan
menetapkan anggaran pendapatan dan belanja negara bersama Presiden dengan
memperhatikan petimbangan DPD. Sedangkan fungsi pengawasan, adalah fungsi melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan UUD Negara RI Tahun 1945, UU dan peraturan
pelaksanaannya.
Dalam menjalankan fungsinya tersebut DPR mempunyai
hak-hak yaitu; hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat. Selain itu anggota DPR juga
mempunyai hak mengajukan RUU, mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat,
memilih dan dipilih, membela diri, imunitas, protokoler dan keuangan dan administratif.
Selain memiliki hak-hak tersebut maka anggota DPR juga memiliki
kewajiban-kewajiban.
3.
Dewan
Perwakilan Daerah (DPD)
DPD merupakan lembaga baru yang dibentuk setelah
perubahan UUD Tahun 1945. Secara yuridis formal, DPD mulai terbentuk sejak
disahkannya perubahan ketiga UUD Tahun 1945, dalam Rapat Paripurna MPR ke-7
Sidang Tahunan MPR pada tanggal 9 Nopember Tahun 2001. Namun secara faktual
keberadaan DPD baru terjadi pada tanggal 1 Oktober Tahun 2004, yakni sejak
dilantik dan diambil sumpah/janji para anggota DPD, sebagai hasil Pemilu 5
April 2004. Sebagai landasan yuridis pembentukan DPD adalah Pasal 2 ayat (1)
UUD Tahun 1945.
Perubahan terhadap Pasal 2 ayat (1) UUD Tahun 1945,
mengakibatkan bahwa tidak ada lagi Utusan Golongan dalam keanggotaan MPR, serta
tidak ada lagi anggota MPR yang diangkat, tetapi juga dibentuknya lembaga
perwakilan baru yang bernama DPD. Bersama DPR, DPD menjadi salah satu unsur
keanggotaan MPR. Jika DPR merupakan lembaga perwakilan yang mewakili penduduk,
maka DPD adalah lembaga perwakilan yang mewakili wilayah atau daerah, dalam hal
ini adalah provinsi.
Dalam Pasal 40 UU No.22 Tahun 2003, ditentukan bahwa
kedudukan DPD dalam struktur ketatanegaraan Indonesia adalah merupakan lembaga
perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga negara. Sebagai lembagai
negara maka DPD sejajar kedudukannya dengan lembaga negara lainnya seperti MPR,
DPR, Presiden, BPK, MA dan Mahkamah Konstitusi.
Dari kedudukan tersebut, DPD tidak fungsional berkaitan
dengan kedudukan dan hubungan-hubungan tersebut. Dalam hubungannya dengan DPR
dan MPR, kedudukan DPD sebagaimana diatur dalam UUD 1945 tidak sesuai dengan
gagasan pembentukan DPD.
Reformasi struktur ketatanegaraan Indonesia menuju sistem
perwakilan bikameral yang kuat (strong bicameralism) tidak terwujud dalam UUD
1945. Berdasarkan rumusan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945, maka sistem ketatanegaraan
Indonesia memiliki sistem perwakilan bikameral yang lemah (soft bicameral).
Mengacu
pada ketentuan Pasal 22D UUD 1945 dan Tata Tertib DPD RI bahwa sebagai lembaga
legislatif DPD RI mempunyai fungsi legislasi, pengawasan dan penganggaran yang
dijalankan dalam kerangka fungsi representasi.
4.
Mahkamah
Konstitusi (MK)
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah lembaga
(tinggi) negara yang baru yang sederajat dan sama tinggi kedudukannya dengan
Mahkamah Agung (MA). Menurut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 pasca Perubahan Keempat (Tahun 2002), dalam struktur
kelembagaan Republik Indonesia terdapat (setidaknya) sembilan buah organ negara
yang secara langsung menerima kewenangan langsung dari Undang-Undang Dasar.
Kesembilan organ tersebut adalah Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Badan Pemeriksa Keuangan, Presiden, Wakil Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial. Fungsi
MK sendiri yaitu:
a.
Sebagai penafsir konstitusi
Hakim Mahkamah Konstitusi dalam
menjalankan kewenangannya dapat melakukan penafsiran terhadap konsrtitusi.
Hakim dapat menjelaskan makna kandungan kata atau kalimat, menyempurnakan atau
melengkapi, bahkan membatalkan sebuah undang-undang jika dianggap bertentangan
dengan konstitusi.
b.
Sebagai penjaga hak asasi manusia
Konstitusi sebagai dokumen yang
berisi perlindungan hak asasi manusia merupakan dokumen yang harus dihormati.
Konstitusi menjamin hak-hak tertentu milik rakyat. Apabila legislatif maupun
eksekutif secara inkonstitusional telah mencederai konstitusi maka Mahkamah
Konstitusi dapat berperan memecahkan masalah tersebut.
c.
Sebagai pengawal konstitusi
Istilah penjaga konstitusi tercatat
dalam penjelasan Undang-Undang No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
yang biasa disebut dengan the guardian of constitution. Menjaga konstitusi
dengan kesadaran hebat yang menggunakan kecerdasan, kreativitas, dan wawasan
ilmu yang luas, serta kearifan yang tinggi sebagai seorang negarawan.
d.
Sebagai penegak demokrasi
Demokrasi
ditegakkan melalui penyelenggaraan pemilu yang berlaku jujur dan adil. Mahkamah
Kontitusi sebagai penegak demokrasi bertugas menjaga agar tercitanya pemilu
yang adil dan jujur melalui kewenangan mengadili sengketa pemilihan umum. Sehingga
peran Mahkamah Kontitusi tak hanya sebagai lembaga pengadil melainkan juga
sebagai lembaga yang mengawal tegaknya demokrasi di Indonesia.
5. Presiden dan Wakil Presiden
Hasil amandement UUD 1945 juga merubah ketentuan tentang
Presiden dan Wakil Presiden. Perubahan berkaitan dengan masa jabatan, yang
dibatasi hanya untuk dua kali masa jabatan (Pasal 7). Perubahan lainnya adalah berkaitan dengan mekanisme pemilihan presiden dan
Wakil Presiden sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6A UUD 1945 yang menyebutkan
bahwa; “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung
oleh rakyat”. Tentang mekanisme
pemilihan diatur dalam Pal 6A ayat 2 dan 4. Selanjutnya tentang mekanisme pemberhentian Presiden dan
Wakil Presiden diatur dalam Pasal 7A dan 7B.
Fungsi
dan peran kepala negara dan kepala presiden terpusat pada presiden merupakan
salah satu penanda sistem presidensial. Kepala negara diartikan sebagai simbol
pemersatu bangsa, pemimpin nasional dan sebagainya. Sebagai kepala negara,
presiden memiliki fungsi dan peran memegang pemimpin tertinggi militer,
diplomat negara tertinggi, hak yurisdiksi, dan dalam keamanan. Meskipun dengan
catatan sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 sering mensyaratkan pertimbangan
DPR dalam keputusannya. Sedangkan kapasitas
presiden sebagai kepala pemerintahan merujuk pada kepala administrasi
pemerintahan, atau pemegang kekuasaan eksekutif dan pemerintahan tertinggi.
Seperti mengajukan RUU kepada DPR, melaksanakan UU dan sebagainya.
6. Mahkamah Agung (MA)
Mahkamah
Agung adalah sebuah lembaga Negara yang berwenang mengadili pada tingkat
kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang- undang terhadap
undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh
undang-undang. Mahkamah Agung (disingkat MA) adalah lembaga tinggi negara dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman
bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi.
Menurut Undang-undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, pasal 11 ayat (1), “Mahkamah
Agung merupakan pengadilan Negara tertinggi dari keempat lingkungan peradilan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (2).”10 Pasal 10 ayat (2) menjelaskan
“badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan
dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan
peradilan tata usaha negara.” Sedangkan pasal 1 dan pasal 2 Undang- undang
Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung menyatakan:
Pasal 1: Mahkamah Agung
adalah Lembaga Tinggi Negara sebagaimana dimaksudkan dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: III/MPR/1978. Sedangkan dalam
pasal 2 dijelaskan: Mahkamah Agung adalah Pengadilan Tertinggi dari semua
lingkungan peradilan yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah
dan pengaruh-pengaruh lain. Adapun Fungsi MA adalah:
1. FUNGSI PERADILAN
a.
Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi,
Mahkamah Agung merupakan pengadilan kasasi yang bertugas membina keseragaman
dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali menjaga
agar semua hukum dan undang-undang diseluruh wilayah negara RI diterapkan
secara adil, tepat dan benar.
b.
Disamping tugasnya sebagai Pengadilan
Kasasi, Mahkamah Agung berwenang memeriksa dan memutuskan pada tingkat pertama
dan terakhir.
c.
Erat kaitannya dengan fungsi peradilan ialah
hak uji materiil, yaitu wewenang menguji/menilai secara materiil peraturan
perundangan dibawah Undang-undang tentang hal apakah suatu peraturan ditinjau
dari isinya (materinya) bertentangan dengan peraturan dari tingkat yang lebih
tinggi (Pasal 31 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).
2. FUNGSI PENGAWASAN
a.
Mahkamah Agung melakukan pengawasan
tertinggi terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan dengan
tujuan agar peradilan yang dilakukan Pengadilan-pengadilan diselenggarakan
dengan seksama dan wajar dengan berpedoman pada azas peradilan yang sederhana,
cepat dan biaya ringan, tanpa mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan
memutuskan perkara (Pasal 4 dan Pasal 10 Undang-undang Ketentuan Pokok
Kekuasaan Nomor 14 Tahun 1970).
b.
Mahkamah Agung juga melakukan pengawasan terhadap
pekerjaan Pengadilan dan tingkah laku para Hakim dan perbuatan Pejabat
Pengadilan dalam menjalankan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas
pokok Kekuasaan Kehakiman, yakni dalam hal menerima, memeriksa, mengadili, dan
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, dan meminta keterangan
tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan serta memberi
peringatan, teguran dan petunjuk yang diperlukan tanpa mengurangi kebebasan
Hakim (Pasal 32 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985) dan terhadap
Penasehat Hukum dan Notaris sepanjang yang menyangkut peradilan (Pasal 36
Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).
3. FUNGSI MENGATUR
a.
Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut
hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila
terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang tentang Mahkamah
Agung sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang
diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan (Pasal 27 Undang-undang
No.14 Tahun 1970, Pasal 79 Undang-undang No.14 Tahun 1985).
b.
Mahkamah Agung dapat membuat peraturan
acara sendiri bilamana dianggap perlu untuk mencukupi hukum acara yang sudah
diatur Undang-undang.
4. FUNGSI NASEHAT
a.
Mahkamah Agung memberikan nasihat-nasihat
atau pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara
lain (Pasal 37 Undang-undang Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985). Mahkamah Agung
memberikan nasihat kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam rangka pemberian
atau penolakan grasi (Pasal 35 Undang-undang Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985).
Selanjutnya Perubahan Pertama Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945 Pasal 14
Ayat (1), Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk memberikan pertimbangan
kepada Presiden selaku Kepala Negara selain grasi juga rehabilitasi. Namun
demikian, dalam memberikan pertimbangan hukum mengenai rehabilitasi sampai saat
ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaannya.
b.
Mahkamah Agung berwenang meminta
keterangan dari dan memberi petunjuk kepada pengadilan disemua lingkunga
peradilan dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 25 Undang-undang No.14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. (Pasal 38
Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung).
5. FUNGSI ADMINISTRATIF
a.
Badan-badan Peradilan (Peradilan Umum,
Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara) sebagaimana
dimaksud Pasal 10 Ayat (1) Undang-undang No.14 Tahun 1970 secara organisatoris,
administrative dan finansial sampai saat ini masih berada dibawah Departemen
yang bersangkutan, walaupun menurut Pasal 11 (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun
1999 sudah dialihkan dibawah kekuasaan Mahkamah Agung.
b.
Mahkamah Agung berwenang mengatur tugas
serta tanggung jawab, susunan organisasi dan tata kerja Kepaniteraan Pengadilan
(Undang-undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang No.14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman).
6. FUNGSI LAIN-LAIN
Selain
tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap
perkara yang diajukan kepadanya, berdasar Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor
14 Tahun 1970 serta Pasal 38 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, Mahkamah Agung
dapat diserahi tugas dan kewenangan lain berdasarkan Undang-undang.
7. Komisi Yudisial (KY)
Setelah
perubahan UUD 1945 bahwa kedudukan Komisi Yudisial di lapangan yudikatif
(kekusaan kehakirnan) sederajat/sama dengan kedudukan MA dan MK dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia. Apalagi dengan mencermati wewenang atributifhya untuk
mengusulkan dan melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim, maka kedudukan
yang sederajat sebagai lembaga negara itu, menemukan justifiksinya berdaswkan
logika hukurn (legal reasoning) yang digunakan untuk
menganalisis/menginterpretasikannya.
Sebab,
jika kedudukannya lebih rendah daripada MA dan MK dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia, maka sudah barang tentu Komisi Yudisial tidak dapat diberikan
wewenang untuk mengusulkan pengangkatan hakim dan juga melakukan pengawasan
terhadap perilaku hakim. menurut penulis, Komisi Yudisial sebagai lembaga negara
berada di ranah kekuasaan kehakiman seperti dalam bagan di atas, akan tetapi
Komisi Yudisial bukan pelaksana lembaga peradilan, seperti halnya Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi, melainkan lembaga pelaksana code of ethics bagi
hakim.
Perubahan
yang nampak dalam sistem kekuasaan kehakiman berdasarkan UUD 1945 Setelah
Perubahan adalah bahwa kekuasaan kehakiman tidak lagi dimonopoli oleh lembaga
negara yang tunggal, yaitu Mahkamah Agung, akan tetapi di samping Mahkamah
Agung ada sebuah lembaga lain yakni Mahkamah Konstitusi yang juga memiliki
wewenang dilapangan kekuasaan kehakiman (yudikatif). Di luar Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi, ternyata berdasarkan Pasal 24B UUD 1945 juga diatur
tentang sebuah Komisi yang mandiri, yang disebut dengin Komisi Yudisial.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
dapat diketahui bahwa ternyata Komisi Yudisial ini adalah lembaga negara.
Kedudukannya sebagai sebuah lembaga negara bersifat mandiri, dan dalam
pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan
lainnya.
Posisi
konstitusional KY dalam UUD 1945 hasil perubahan memiliki legalitas yang sama
kuat dengan lembaga-lembaga negara dalam rumpun sistem peradilan. Hal tersebut
didasarkan pada tiga argumentasi sebagai berikut: Pertama, legalitas KY
didasarkan pada atribut yang intrinsik sebagai lembaga negara dalam suatu
rumpun peradilan. Posisi kekuatan berimbang antara KY, MA, dan MK dibuktikan
oleh peletakannya dalam UUD 1945 Bab IX yaitu Kekuasaan Kehakiman yang diatur
dalam Pasal 24, 24 A, 24 B, dan ayat 24 C.3 Meski penyelenggara kehakiman
dilakukan oleh MA dan MK, secara implisit keberadaan KY terpayung oleh Pasal 24
ayat (3) yang berbunyi, “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.”
Kedua,
kekuatan konstitusional KY didasarkan pada fakta bahwa ketiga lembaga negara
yaitu MA, KY, dan MK berada dalam struktur normatif yang sederajat. Posisi MA
diatur dalam Pasal 24 A yang terdiri dari lima ayat. KY diatur dalam Pasal 24 B
terdiri dari empat ayat. Sedangkan MK dalam Pasal 24 C yang terdiri dari enam
ayat.
Ketiga,
kekuatan berimbang antara KY, MA, MK juga didasarkan pada asal-usul semangat
zaman pembentukan struktur norma. KY dan MK tidak pernah lahir, kecuali setelah
amandemen UUD 1945. Sejak perubahan fase ketiga pada 2001 dengan mengubah dan
menambah Pasal 24. Tambahan dalam Pasal 24 menjadi tiga pasal yaitu Pasal 24 A
mengenai MA, Pasal 24B mengenai KY, dan Pasal 24 C mengenai MK.
Kehadiran
KY diakui sebagai upaya menciptakan fungsi check and balance dalam sistem
pengawasan di peradilan. Kehadiran KY sangat diharapkan karena masyarakat
kehilangan kepercayaan pada institusi peradilan. peran pengawasan internal yang
dilakukan MA tidak efektif, karena kerap digunakan sebagai upaya melindungi
oknum yang berbuat salah atas nama semangat korps.
Eksistensi
konstitusional KY tetap utuh sebagaimana diatur dalam Pasal 24B UUD 1945: 1)
Komisi Yudisial bersifat mandiri, yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim
agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim; 2)Anggota Komisi Yudisial
harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki
integritas dan kepribadian yang tidak tercela; 3) Anggota Komisi Yudisial
diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat; 4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur
8. Badan Pengawas Keuangan (BPK)
Kedudukan
BPK dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia jika dilihat dari kewenangan
yang diberikan langsung oleh UUD NRI 1945 maka lembaga negara ini tergolong
sebagai Lembaga Negara Yang Kewenangannya. Diberikan oleh UUD NRI 1945
(constitutionally entrusted power). Ditinjau dari kedudukan BPK sebagai main
state organ dalam arti merupakan lembaga negara yang bersifat bebas dan
mandiri, maka seyogyanya hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada
DPR, DPD, dan DPRD karena akan menimbulkan conlict of interest. Letak konflik
tersebut akan muncul jika yang diperiksa adalah DPR, DPD, dan DPRD sendiri.
Apapun hasil pemeriksaan oleh BPK, penindakannya tergantung kepada DPR.
Sehingga berkaitan ini sangat dibutuhkan suatu mekanisme yang efektif agar
hasil pemeriksaan dari BPK tentang keuangan negara tidak sia-sia dan tepat
sasaran.
Dalam
kedudukannya yang semakin kuat dan kewenangannya yang semakin besar, fungsi BPK
secara mendasar terdiri dari 3:
a.
Fungsi
operatif berupa pemeriksaan, pengawasan, dan penyelidikan atas penguasaan,
pengurusan dan pengelolaan kekayaan Negara.
b.
Fungsi yudikatif berupa kewenangan
menuntut perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi terhadap bendaharawan dan
pegawai negeri bukan bendahara yang karena perbuatannya melanggar hukum atau
melalaikan kewajibannya sehingga merugikan keuangan negara.
c. Fungsi Advisory yaitu memberikan pertimbangan kepada pemerintah mengenai pengurusan dan pengelolaan keuangan Negara.
Comments
Post a Comment